Balada Literasi Pelajar Gorontalo


Berbicara terkait literasi pastinya cukup banyak namun disini penulis hanya berfokus pada literasi membaca sebagaimana yang telah di firmankan pada Qs. Al Alaq, selain itu semboyan yang selalu di agung- agungkan oleh ikatan pelajar muhammadiyah yaitu Al-Qalam ayat 1 pun mengandung tentang literasi dengan arti “demi pena dan apa yang dituliskannya” ketika kita menulis sudah tentu adanya kita juga membaca, namun apakah budaya ini sudah dibiasakan atau tidak dikalangan pelajar?. Maka dari itu data- data dibawah ini akan memberikan pengetahuan pada kita dan tentunya kepada penulis sendiri terkait budaya literasi dikalangan pelajar

Data Statistik literasi di Indonesia

 Pada tahun 2006, Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan sensus dengan hasil yang menunjukkan bahwa 85,9% masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3%) dan membaca koran (23,5%). Tahun 2009, dari Organisasi Pengembangan Kerja Sama Ekonomi (OECD) Indonesia menduduki tempat terendah dalam minat baca di kawasan Asia Timur. Tahun 2011, UNESCO mengeluarkan data bahwa indeks membaca orang Indonesia hanya 0,001 yang berarti dari seribu masyarakat hanya ada satu yang berminat untuk membaca buku. 

Membaca dan menulis belum mengakar kuat dalam budaya bangsa kita. Masyarakat lebih sering menonton atau mendengar dibandingkan membaca apalagi menulis. Kita belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca ataupun mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Berita tentang rendahnya budaya literasi di Indonesia membuat miris. Ketua Forum Pengembangan Budaya Literasi Indonesia menyatakan keprihatinannya atas ketidakpahaman konsep literasi pada guru dan biroktrat pendidikan (Republika, 2014). Disampaikan pula bahwa kondisi literasi di Indonesia berada di urutan ke-64 dari 65 negara, itu artinya Indonesia berada di urutan terakhir dalam hal literasi. Atas dasar kondisi tersebut, banyak pihak yang telah ikut serta dalam kegiatan literasi baik di sekolah atau pun di masyarakat. Dilaporkan sampai tahun 2017, kemampuan literasi juga masih belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Disebutkan rendahnya kemampuan literasi berdampak pada kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan (Abdini, 2017). Disebutkan pula tidak tercukupinya infrastruktur pendidikan ikut menyumbang rendahnya literasi di Indonesia. Misalnya, belum ada akses internet di sekolah dan minim bahan bacaan di sekolah.

Hasil Riset literasi di Gorontalo

 Nah, di Gorontalo sendiri telah dilakukan riset INAP (Indonesian National Assesment Program) menunjukan hal yang mencengangkan. Pada tahun 2016, literasi membaca siswa SD di Gorontalo merah total, sekitar 74,16 % siswa SD di Gorontalo Memiliki Kompentensi membaca yang sangat rendah (kurang).sebesar 25,36 % kategori (cukup) dan 0,48% kategori (baik) 

Kemudian dengan melihat fenomena yang sering di jumpai di sekolah sekarang ini adalah ketika bel istirahat sekolah berbunyi, sebagian besar siswa akan memilih kantin sekolah sebagai tempat untuk menghabiskan waktu istirahat dan bermain daripada menuju perpustakaan serta tak banyak juga terlihat perpustakaan ramai kunjangan bagaikan gudang buku saja. Fenomena ini menunjukkan bahwa sekolah masih belum sepenuhnya menumbuhkan budaya literasi sebagai bagian dari pengembangan diri bagi pelajar. Pelajar lebih memilih kantin daripada perpustakaan sebagai tempat untuk nongkrong menunjukkan bahwa kegiatan baca tulis belum menjadi hal yang menarik bagi pelajar. Sekolah merupakan bagian paling utama dalam menumbuhkan budaya membaca bagi pelajar, namun tidak semua sekolah mampu menyediakan sarana dan prasarana untuk menciptakan lingkungan ramah baca bagi pelajar. 

Tik Tok, Instagram, Youtube, Whatshap, Games dll

 Jika dilihat saat ini pelajar lebih tergiur dengan media social, berupa Tik-Tok, Instagram, Youtube, Whatshap, Games dll yg dimana disana juga terjadi literasi, namun tidak banyak dari mereka yang menggunakan media tersebut untuk menambah pengetahuan seperti membaca buku online, berita dan hal yang bermanfaat lainnya melainkan hanya untuk bermalas-malasan dan menghabiskan waktu mereka untuk scroll layar beranda, atau bermain, maka jangan ditanyakan kenapa pelajar saat ini terlihat pasif, lain sebagainya, karena dengan tidak membaca mematikan nalar kritis dan mungkin juga menghambat perkembangan otak mereka.

 Dengan melihat kondisi pelajar saat ini tentunya sangat miris dan menyedihkan, dimana seharusnya pelajar saat ini harus menjadi garda terdepan untuk menjadi agen intelektual namun pada realitanya menjadi orang yang anti dalam literasi, hal ini menjadi PR besar bagi kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah dalam mengembalikan kembali ruh literasi pelajar, sebagai organisasi yang bergerak di bidang Pendidikan akan lebih baik ketika kader IPM hadir sebagai Agen Of Change yang membawa perubahan kepada pelajar lainnya. Meskipun menumbuhkan budaya literasi bukan serta merta hanya tanggung jawab pelajar saja melainkan tanggung jawab bersama, baik itu guru, masyarakat setempat dan pemerintah tapi akan lebih baik jika itu kita mulai dari diri kita sendiri sebagai pelajar dan kemudian mengajak pelajar lainnya. 

Penulis : Wulandari Ney (Ketua Umum PW IPM Gorontalo 2021-2023)
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad